PERLAWANAN STIGMA SOSIAL TERHADAP LESBIAN GAY BISEKSUAL
DAN TRANSGENDER
THE OPPOSITION
OF SOCIAL STIGMA IN LESBIAN GAY BISEXUAL AND TRANSGENDER
DICKY GUNAWAN
15102054
UNIVERSITAS TRILOGI
A.
Pendahuluan.
Setiap hari kita
mendengar kata stigma. Sebenarnya apakah stigma sosial itu? Stigma sosial adalah
pandangan, prasangka, penilaian yang cenderung negatif yang ditujukan kepada
seseorang atau sekelompok dikarenakan ada sesuatu hal yang berbeda dari biasanya dalam diri mereka. Mereka yang merasa distigma akan
merasa terbuang dan secara tidak langsung dicap sebagai “pendosa.” Stigma
sendiri muncul karena adanya norma-norma agama yang menjadi tolak ukur, apakah
seseorang itu pantas mendapat stigma atau tidak. Karena untuk takaran stigma
sendiri, seseorang itu “harus” berdosa atau tidak. Jika dinilai berdosa, maka
stigma layak untuk disandangkan.
Selain itu,
masalah moralitas juga menjadi bagian dari munculnya stigma. Tatkala ada
orang-orang yang masih yakin bahwa yang paling bermoral adalah yang paling
benar, apa kabarnya orang-orang yang nasibnya tidak beruntung dan keadaan yang
menuntutnya untuk melepas atribut moral demi sesuap nasi, demi menghidupi
keluarganya, demi mendapatkan pendidikan yang layak, dan demi hal-hal yang
lainnya.
Tindakan
perilaku menyimpang sesungguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya
bersifat netral dan relative. Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung
pada sudut pandang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang
karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya sebagai perilaku menyimpang.
Jika orang/masyarakat tidak menyebut sebuah tindakan sebagai perilaku
menyimpang, maka perilaku menyimpang itu tidak ada. Penyebutan sebuah tindakan
parilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan
tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Perilaku
menyimpang terjadi karena adanya stigma. Adanya stigma akan membuat
seseorang atau sebuah kelompok negatif dan diabaikan, sehingga mereka
disisihkan secara sosial. Ada kalanya masyarakat secara formal
melakukan stigmatisasi melalui tata cara penghinaan. Stigmatisasi ini
menjadi orang sakit secara mental (mental illness). Akibat selanjutnya, mereka
terus menerus melakukan perilaku menyimpang.
Banyak sekali
masyarakat beranggapan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT)
adalah kaum yang menyimpang, kaum berdosa, dan bahkan ada negara yang melarang
adanya LGBT. Sebenarnya apa itu LGBT ? LGBT adalah akronim dari Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender. Lesbian adalah seseorang perempuan yang tertarik
dengan perempuan lain; Gay adalah seorang pria yang tertarik dengan pria lain
atau sering dipakai untuk menggambarkan homoseksual; Biseksual adalah orang
tertarik baik kepada pria dan wanita; dan Transgender adalah orang yang identitas
gendernya bukan laki-laki dan perempuan atau berbeda dengan yang biasa ditulis
dokter di sertifikat. Istilah tersebut digunakan untuk menggantikan frasa
komunitas gay karena istilah tersebut sudah mewakili kelompok-kelompok yang
telah disebutkan.
Mengapa LGBT
tidak dapat diterima dalam lingkup masyarakat Indonesia? karena menurut mereka,
perilaku LGBT tidak diperbolehkan, dan adanya prasangka bahwa suatu hari nanti
LGBT akan membuat anak Indonesia menjadi seperti para LGBT, dan banyaknya
asumsi dari masyarakat bahwa LGBT itu buruk, manusia diciptakan
berpasang-pasangan oleh Tuhan, sudah seharusnya kita sebagai manusia mengikuti
aturan tersebut dan tidak bertindak melawan kodrat; dan bencana alam semakin
hari semakin banyak terjadi dan merupakan tanda-tanda berakhirnya zaman,
seiring dengan semakin banyaknya orang yang menyatakan dirinya bagian dari
LGBT, serta pendapat-pendapat lainnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
pihak-pihak yang tergolong LGBT sebenarnya bukanlah pelaku penyimpangan, mereka
hanyalah manusia biasa yang berhak hidup dengan damai dan tenteram di negaranya
sendiri. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati, memiliki perasaan, serta
pikiran yang sama dengan para non LGBT.. Namun perbedaannya hanya terletak pada
orang yang mereka sukai. Untuk itu, menerapkan stigma terhadap LGBT adalah
sangat tidak bijaksana karena ada begitu banyak sekali alasan mengapa mereka
memiliki orientasi yang berbeda dari kebanyakan orang.
Banyak
penelitian yang menyanggah bahwa LGBT, atau lebih spesifiknya homoseksual,
adalah abnormal. Dua diantaranya adalah pertama, teori Spectrum oleh McKinsey. McKinsey menjelaskan bahwa spectrum
orientasi seksual ada 6 skala. Skala 0 menandakan seseorang dengan
orientasi ekstrim heteroseksual dan skala 6 untuk ekstrim homoseksual. Namun
tidak ada orang yang ekstrim homoseksual atau ekstrim heteroseksual, karena
pada dasarnya manusia memiliki sedikit kecenderungan untuk tertarik pada lawan atau sesama
jenisnya.
Yang kedua yaitu
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Dalam PPDGJ III, Kementerian
Kesehatan RI telah menghapuskan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa, karena homoseksual tidak menunjukkan gejala
apapun terkait dengan gangguan psikologis maupun mental. Lalu juga dalam kitab
para psikolog dunia yaitu Diagnostic Statistics Manual ke-5 (DSM V) telah
mencabutkan homoseksualitas sebagai penyakit.
B.
Pembahasan.
Setelah negeri paman Sam, atau Amerika
Serikat, melegalkan pernikahan sesama jenis, warga Indonesia berduyun-duyun membahas
homoseksualitas. Mulai dari warung kopi sampai level akademisi. Stigma-stigma
pun turut berdatangan disela-sela percakapan mereka. Diantaranya adalah
pernyataan bahwa lesbian, gay, biseksual, dan transgender merupakan
penyimpangan seksual. Menurut para ahli psikologi dalam Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gannguan Jiwa III atau disingkat PPDGJ III, pada poin F66 “Gangguan
Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi
Seksual”, dibawahnya jelas tertulis orientasi seksual sendiri jangan dianggap
sebagai suatu gangguan. Artinya dalam PPDGJ III itu sendiri mengatakan bahwa
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender bukanlah suatu penyimpangan atau gangguan
seksual.
Pernyataan lain adalah perilaku LGBT dapat
menular kepada orang lain. LGBT bukanlah penyakit yang disebabkan oleh virus
maupun bakteri sehingga dapat menular. LGBT merupakan persoalan preferensi
seksual. Jika seseorang percaya bahwa dia bukanlah LGBT, maka dia tidak akan
menjadi LGBT hanya dengan bergaul dengan mereka. Pernyataan berikutnya
mengungkapkan bahwa para LGBT hanya mementingkan seks, atau persetubuhan. Semua
orang pasti mementingkan seks, karena seks adalah kebutuhan alami yang dimiliki
setiap manusia. Hanya saja, ada sebagian dari mereka yang akan melampiaskan
kebutuhan seks nya hanya pada orang yang benar-benar dicintainya atau dengan
kata lain pasangan sejatinya. Dan juga ada yang melampiaskannya dengan cara melakukan
pemaksaan kepada orang lain, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, dan
sebagainya. Sama seperti LGBT, mereka ada yang melampiaskan kebutuhan seks nya
dengan cara yang baik dan ada yang buruk. Para LGBT juga tidak selalu
memikirkan hal-hal yang berbau seks. Banyak dari mereka yang lebih mementingkan
hal-hal lain, seperti prestasi, pekerjaan, persahabatan, membanggakan orang
tua, bakti sosial, dan hal-hal positif lainnya.
Pernyatan-pernyataan diatas itulah yang
membuat para LGBT semakin jelek dimata orang-orang lain atau masyarakat
sekitar. Jika dibiarkan, pernyataan-pernyataan tersebut akan selalu menetap dan
semakin menjadi-jadi bahwa LGBT benar-benar buruk. Padahal kenyataannya, LGBT
juga sama seperti orang-orang lain, memiliki sisi positif dan negatifnya.
Dengan demikian, pentingnya edukasi mengenai bahaya stigma harus diberikan
sedini mungkin. Ada beberapa cara bagi kita untuk melawan stigma yang sudah
banyak tersebar mengenai LGBT, diantaranya adalah:
1. Pahami dari sisi psikologi.
Memahami para LGBT dari sisi psikologi merupakan hal yang
paling mendasar, karena mereka juga manusia, jadi memahami sesuatu dari aspek
paling dasar manusia merupakan langkah awal yang paling tepat untuk mengetahui
penyebab seseorang menjadi LGBT.
Memahami dari sisi psikologi juga bisa membantu kita
menjelaskan apakah LGBT benar-benar buruk bagi mereka dan diri kita, atau
tidak. Sehingga kita bisa lebih merasa nyaman dan tidak semena-mena terhadap
para LGBT.
2. Pahami dari sisi kesehatan
Selain psikologi, memahami para LGBT dari sisi kesehatan
juga tidak kalah pentingnya. Memahami disini maksudnya adalah menelaah apakah
LGBT berbahaya bagi kesehatan dan fisik kita. Salah satu contoh stigma yang
paling kuat dari sisi kesehatan para homoseksual (lesbian dan gay) adalah
mereka merupakan penyebab utama dari penyebaran HIV. Itu salah besar. HIV/AIDS
bukanlah penyakit kelompok homoseksual. Siapapun bisa jadi penyebab utama
penyebaran HIV, termasuk heteroseksual (laki-laki dengan perempuan). HIV dapat
dengan mudah ditularkan melalui “air liur” saat berhubungan seks. Heteroseksual
maupun homoseksual pasti melakukan ini saat berhubungan badan. HIV juga dapat ditularkan
melalui lingkungan sekitar (contohnya besi yang berkarat). Jadi tidak ada alasan
khusus mengapa homoseksual merupakan sumber penyakit HIV.
3. Hargai perbedaan.
Manusia
terdiri dari 98% persamaan, dan 2% perbedaan. Kita hanya dibedakan oleh 2% itu.
Namun, karena 2% perbedaan itulah yang bisa menyebabkan kita terpecah belah.
Menghargai
perbedaan adalah cara yang paling dibutuhkan ketika kita ingin menjadi manusia
yang lebih toleran. Cara termudah adalah dengan memahami bahwa kita harus
memahami sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap orang. Pasti berbeda
pemikiran seorang Gay, dan pemikiran seorang transgender misalnya. Atau Gay
dari agama islam dengan Gay dari agama protestan misalnya, pasti memiliki
perbedaan cara pandang.
4.
Perbanyak
pikiran-pikiran positif.
Ibarat setitik
hitam di kertas putih, kebanyakan orang pasti hanya melihat titik hitam itu,
padahal warna putihnya jauh lebih banyak. Demikian pula dengan para LGBT. Dari
beberapa hal buruk yang mereka lakukan, kita harus membuka mata hati kita, mengakui
bahwa mereka juga banyak melakukan hal-hal yang positif, bahkan jauh lebih
banyak dari keburukannya. Karena pada kenyataannya memang seperti itu. Anggapan
bahwa para LGBT hanya sedikit memiliki hal positif atau tidak samasekali,
benar-benar salah. Para LGBT juga banyak yang mengabdikan diri mereka pada
masyarakat, suka membantu sesama, membangun rumah tangga yang baik bersama
pasangan sejenis mereka, mencetak prestasi yang gemilang, dan lain-lain.
C.
Simpulan
Menghindari stigma, khususnya yang
paling banyak terjadi pada para LGBT, tidak terlalu sulit untuk diaplikasikan
kedalam hidup kita, asalkan kita memiliki niat dan bersungguh-sungguh.
Kehati-hatian dalam menilai hidup atau kepribadian seseorang merupakan aspek
krusial yang harus kita tanamkan dalam diri kita. Karena ketika seseorang
berbuat sesuatu, pasti ada alasan dibelakangnya. Alasan itulah yang benar-benar
harus kita pahami sehingga kita dapat memaklumi maupun membantunya untuk tidak
melakukan hal yang demikian.
jual viagra
BalasHapuspil biru
obat kuat viagra
viagra aslia
obat kuat jakart
viagra asli
obat kuat viagra
toko viagra jakarta
kios viagra bandung
jual viagra depok
penjual viagra tangerang
viagra bekasi
viagra karawang
viagra purwakarta
Mengapa LGBT tidak dapat diterima dalam lingkup masyarakat Indonesia? karena menurut mereka, perilaku LGBT tidak diperbolehkan, dan adanya prasangka bahwa suatu hari nanti LGBT akan membuat anak Indonesia menjadi seperti para LGBT,
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia